Jumat, 04 November 2011

Horor...hoor!



Gak terasa pulang dari rumah Narti jam sebelas malem. Sampai rumah jam 12 malem. Masuk halaman rumah harus melewati jalan hutan yang gelap gulita. Sepi gak ada siapa pun. Hanya suara kaki yang menginjak jalan kerikil. Sampai di depan pintu rumah, Indah baru sadar kalau kunci rumah hari itu tidak terbawa. Kita nge-bel rumah, tapi gak ada orang yang denger. Karena memang rumahnya besar dan kamar tidur terletak di lantai atas. Indah berusaha menelepon , tapi tidak ada yang menjawab. Indah ketok-ketok rumah juga gak ada yang denger.  Menunggu pintu di buka di halaman rumah yang besar mana gelap,  duh  bikin bulu kuduk berdiri (dasar penakut). Untung akhirnya suaminya denger juga lalu pintu pun terbuka. Lega rasanya. Eits tapi sebentar, kok Indah gak langsung masuk rumah? Dan tiba-tiba dia bicara dengan bahasa yang tidak aku kenal. Karena hari sudah malam dan aku merasa takut untuk berlama-lama di halaman yang gelap dan sepi akhirnya aku pun langsung naik ke atas. Tapi sampai di atas aku tidak langsung bisa tidur bahkan sampai agak pagi aku baru ketiduran. Paginya aku bertanya pada Indah, katanya semalam pas dia mau tutup pintu gerbang, dia melihat banyak "makhluk".  Lalu dia berusaha mengusirnya. Dia melihat tetangga sebelahnya memakai jasa orang pinter (dari afrika) untuk (mungkin) memagari rumahnya. Indah melihat banyak pocong di bawah pohon dekat gerbang rumahnya.  Waduh.

Jalan-jalan ke Hoorn




Hari ini hujan lagi. Waduh bener deh kata orang, bahwa di Belanda hanya ada 3 hal tentang cuaca, yaitu angin, hujan, dan dingin. Gak apa lah hujan, toh masih ada matahari, jadi masih terang juga.  Matahari itu benar-benar membuat kita jadi lebih bersemangat, gak merasa gloomy.  Walau sebenarnya sih kata orang bijak, if you have a sunny heart, a cloudy day doesn't  matter. Nanti siang rencananya kita mau jalan-jalan ke Hoorn. Lebih kurang satu jam dari Hilversum Berangkat dari rumah sekitar jam 2 siang. Sebelumnya Indah harus nyoblos pemilu  dulu di Hilversum.  Wah pengalaman baru nih liat nyoblos pemilu di negeri orang. Tempat pencoblosan di flat untuk orang-orang jompo. Flatnya bagus, bersih,  super duper manusiawi.  Bahkan nyaris seperti hotel bintang lima.  Halamannya luas. Ada restorannya, teras dengan halaman rumput penuh bunga. Di taman itulah para manula bisa saling ngobrol, berjemur sinar matahari, atau sekedar membaca buku. Kamar-kamar mereka pun seperti layaknya di hotel dengan jendela dan balkon. Sekali lagi beginilah enaknya tinggal di negara makmur. Masa tua terjamin tanpa harus merepotkan anak cucu. Eh kembali ke pemilu. Overall tata caranya sama dengan di Indo. Ngambil form di meja panitia, lalu diisi, setelah itu masuk ke kotak pencoblosan. Selesai Indah nyoblos Pemilu, kita melaju ke rumah Dewi.



Perjalanan menuju Hoorn sedikit macet dan hari itu diguyur hujan yang lebat. Jalan tol berkabut saking hujan turun dengan derasnya. Anehnya aspal jalan tol tidak terlihat basah. Jadi tetap kering. Beda banget ama jalan  di Indo yang kalau hujan sudah pasti licin. Bukan cuma itu penuh lubang lagi. Setelah sekitar satu jamlebih sedikit menembus derasnya hujan, kita sampai di Hoorn.  Sebelum sampai di rumah Narti di Hoorn kita mampir dulu untuk membeli buah tangan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang di sini jika akan berkunjung ke rumah orang, membawa buah tangan.Buah tangan biasanya berupa bunga, kue, atau sesuatu  yang seringkali disukai oleh orang yang mau kita kunjungi.  Kita mampir ke supermarket, di sini kita membeli bunga lily warna putih dan cake.




Sampai di rumah Narti kita disuguhi lumpia, marmer cake (ini kesukaanku), lalu dia membuat sop buntut, makreel balado, ayam goreng, dan tumis sayuran. Waduh lezaat sekali. Narti memang jago masak. Spesialisnya bikin pepes ikan dan segala masakan yang terbuat dari ikan. Wuih rasanya mantap. Makan di rumah Narti persis seperti makan di resto Sunda. Lagi ngobrol ngalor ngidul,  datanglah Ida dan temannya dari Indonesia namanya Nani.  Akhirnya kita menyantap makanan yang sudah melototi kita dari tadi di meja. Sup buntutnya lezat, apalagi balado makreel. Setelah kenyang lalu kita diajak jalan-jalan sama Gerard  (suaminya Narti) dan Narti, melihat-lihat centrum dan pelabuhan Hoorn. Kata Gerard, Hoorn ini (seperti kota di Belanda lainnya) dulu adalah laut yang dikeringkan lalu dijadikan kota. Jika kita ke kota ini kita akan melihat bendungan yang mengelilingi kita dan kelihatan kita berada di bawah laut. Kota Hoorn cukup menarik karena di sini dulu pusatnya VOC. Bahkan di centrum kota ini terdapat patung pendiri VOC Jan Pieter Zoen Coen. Di sini juga terdapat gedung bekas kantor VOC. Menarik sekali kota dengan pelabuhan kecil tapi pernah punya arti penting di jaman baheula. Di pelabuhan ini juga banyak sekali cafe dan resto dengan teras untuk minum kopi/teh. Tapi sayang karena hari itu hujan maka cafe pada sepi. Orang-orang jarang yang riwa-riwi di jalan. Sunyi. Kata Narti dulu waktu dia pertama kali menjejakan kaki di kota ini, bayangin dalam setahun cuma 2 hari, cuaca bagus dalam arti terang dan hangat. Selebihnya dingin, kelabu, dan hujan. Dia hampir gak betah.  Tapi syukurlah katanya sekarang ini, dalam setahun dia merasa 2 bulan cuaca bagus. Apalagi katanya, sekarang orang-orang juga mulai banyak. Gak kayak dulu orangnya masih sedikit.  Bangunan juga udah banyak yang direnovasi. Jadi lebih semarak. Dia gak kebayang gimana jaman dulu paling tidak tahun 70-an deh.  Huh betapa sepi dan gak enaknya tinggal di Belanda. Oh iya Narti datang ke Belanda sekitar tahun 80-an. Jadi sekarang sudah  30 tahunan.




Saat kita diajak jalan-jalan ke centrum dan haven, langit  mendung kelabu disertai hujan. Walau  cuaca agak dingin kita terus menerobos hujan dengan basah-basah mencoba berfotoria di depan patung JP Coen, kantor VOC lalu di teras cafe depan pelabuhan dan daerah sekitarnya. Pelabuhan saat itu begitu tampak romantis dengan kapal-kapal layar yang sedang merapat. Pelabuhannya bersih. Di sekitarnya berderet cafe dan toko-toko. Dari sana lalu kita diajak jalan-jalan melihat daerah peternakan. Rumah-rumahnya  lucu dan romantis sekali khas daerah boeren yang elok. Halamannya luas ditanami bunga-bunga nan cantik jelita. Jendela rumahnya pun indah dengan gordijn berenda. Rasanya nyaman dan damai tinggal di daerah seperti ini. Jalanannya pun sepi dan bersih. Waduh...seperti di film-film deh. Pedesaan di Belanda selalu saja mempesona. Tata kota di negara ini benar-benar teratur dan indah.

Kamis, 03 November 2011

Gak jadi ke Norway.



Semula Indah mengajakku pergi ke Swedia dan Norway dengan mobil. Perjalanan yang pasti sangat menyenangkan. Berangkat rencananya tanggal 24 Juni, tapi ntah mengapa medannya kok buatku terasa berat. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari. Kemping di perjalanan. Belum lagi menyebrang laut.  Wah bisa gak ya aku??  Ntah bagaimana aku merasa ragu. Hari ke hari keraguan itu semakin kuat. Suatu hari aku berdoa, agar Tuhan memberikan jalan yang terbaik. Dan keesokan harinya eh Indah bilang padaku, tentang rencana itu.  Dia juga ragu. Ragu karena dilihat aku belum siap dan ragu melihat kesehatannya yang kurang fit. Wah mendengar itu aku jadi lega. Lalu Indah menambahkan bahwa mending kita pergi ke daerah sini-sini aja Belanda dan Belgia. Wah kusambut dengan suka cita. Memang sejak aku datang aku melihat wajah Indah pucat.  Dia bilang, kurang sinar matahari. Belanda memang agak pelit dengan sinar matahari. Misalnya sinar matahari  muncul itu pun hanya sebentar-sebentar.



Pada suatu pagi, aku pergi bersepeda dengan Indah ke centrum. Ketika kita harus berhenti di lampu merah, tiba-tiba Indah jatuh. Aku pikir karena salah posisi berdiri, karena memang saat itu ia sedang melambaikan tangan ke temannya yang berada tak jauh dari situ. Setelah jatuh itu dia biasa lagi.  Dan kita melanjutkan perjalanan menuju centrum untuk belanja. Bahkan siangnya kita pergi ke Amersfoort sampai malam.Setelah kejadian jatuh itu, keesokan harinya Indah pun cek ke dokter.  Dokter menyuruhnya tes darah. Setelah di tes ternyata HB-nya hanya 4.  Sangat rendah karena normalnya  8 sampai 9. Lalu Indah diberi obat dan 2 minggu lagi harus cek lagi. Sekali pun HB-nya 4, tapi tidak membuatnya down. Dia masih tetap seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Masih praktek mengobati orang. Masih naik sepeda, bekerja, menyetir mobil.  Sama sekali tak ada yang berubah. Hanya saja, katanya, dia suka cepet capek dan matanya berat, tapi itu pun tidak membuatnya manja. Aku melihat ia mempunyai energi yang luar biasa besar. Dia nyaris jarang mengeluh. Bahkan tidak pernah sama sekali dan aktivitasnya pun tidak berkurang barang sedikit pun. Hebat. Aku salut padanya.




Hari itu jam 3 siang kita janjian akan pergi ke rumah Dewi di deket centrum, karena kemaren Dewi bikin asinan. Jadi hari itu kita memang akan mengudap asinan. hehe. Sampai di sana, seperti biasa, makan gebak, ada teh dan kopi, dan  sudah tentu asinan yang kita tunggu. Ngobrol ngalor ngidul sampai jam 7 malem. Kita pun pulang

Daun, bunga, dan world cup.




Aku pikir aku beruntung datang ke sini di awal Mei, karena musim semi baru saja tiba. Aku masih bisa melihat tulip di Keukenhof bahkan di pinggir-pinggir jalan dan di kebun orang.  Juga aku masih bisa melihat bunga Muur yang putih mungil menyemak di bawah pohon-pohon besar di hutan dan Lelitjes van Dalen, bunga warna putih kecil bentuknya seperti lonceng dan baunya wangi sekali.  Lelitjes van Dalen ini  nama lainnya Lily of the Valley. Pohonnya tidak tinggi nyaris seperti tanaman semak. Bunga ini juga sering kita lihat dijual di toko-toko bunga. Kata temanku yang tinggal di Swedia, kalau di sana tidak boleh sembarang dipetik. Hihi... beruntung di rumah temanku Indah, pohon bunga ini tumbuh liar di halaman belakang rumahnya. Sesekali aku memetiknya untuk kurangkai di dalam vas kecil lalu kutaruh di jendela. Selain kedua tanaman itu masih banyak lagi  bunga-bunga lain yang tak kalah indahnya.  Beberapa ada bunga-bunga di hutan yang sekarang sudah selesai berkembang.



Selain mengamati aneka bunga yang sangat memanjakan mata, aku juga bisa merasakan perubahan cuaca dan udara dimana daun-daun pohon semua masih berwarna hijau muda. Kelihatan begitu segaar dan sejuk. Alam begitu sangat damai.  Daun-daun  yang masih berwarna hijau muda itu kemudian pelan-pelan berubah menjadi hijau lebih tua.  Pemandangan luar biasa. Aku seperti melihat kehidupan yang baru bertumbuh.




Oh iya  kebetulan saat ini juga bersamaan menjelang diadakannya World Cup. Sebagai negara yang sangat maju dunia persebakbolaanya sudah  pasti  Belanda sangat antusias menyambut World Cup ini. Dimana-mana kita banyak melihat bendera oranye terpasang, baik bendera ukuran besar sampai flag chain dipasang di rumah-rumah. Beberapa waktu yang lalu sempat melihat stadionnya Ajax di Amsterdam. Wow...stadionnya besar dan megah. Aku pikir jika sebuah klub besar dan profesional memang harus punya stadion yang besar dan lengkap fasilitasnya. Itu baru stadionnya Ajax belum klub-klub  lain di seantero Belanda. Kapan ya Indonesia yang punya dua ratus juta lebih penduduk bisa bicara di ajang persepakbolaan dunia? Hm...miris liat fasilitas dan pembinaanya yang  masih jauh dibanding di sini.

Kedatangan tamu

Hari ini cuaca mendung bahkan sempat hujan gerimis. Begitulah di sini cuaca benar-benar tidak bisa diduga. Sebentar terang, sebentar mendung lalu hujan walaupun saat ini masuk musim semi.Karena hari ini adalah  minggu jadi suasana agak berbeda. Kebetulan hari ini tidak pergi kemana-mana. Pagi-pagi aku ingin bikin bakwan alias bala-bala. Bahannya antara lain dari sisa tauge kemaren, dan wortel, juga daun bawang. Kali ini terigunya tidak aku campur dengan telur biar rasanya sama seperti bala-bala yang suka dijual  abang-abang di pinggir jalan. Bumbunya cuma merica bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan bouilon. Setelah semua bahan dicampur lalu diaduk hingga merata lalu digoreng sesendok demi sesendok. Jadinya...lumayan untuk kudapan di hari yang mendung dan agak dingin. Enaknya memang dimakan panas-panas dengan cabe rawit. Kalo udah dingin gak begitu asik lagi.

Ketika waktu beranjak siang datanglah sepasang suami istri, namanya Pak Ferry dan ibu Yeti, mereka sudah tinggal di Belanda selama 58 tahun.  Mereka berasal dari Jawa Timur. Pak Ferry asal Malang sementara istrinya Indo Surabaya. Ngobrol punya ngobrol, Pak Ferry itu dulunya adalah tentara pelajar lalu dia pernah mendapat bea siswa ke Belanda tapi setelah lulus dia tidak kembali ke Indonesia, tapi katanya uang  selama dia bersekolah sudah dikembalikan kepada negara. Katanya loh...:)  Pak Ferry punya kebiasaan yang agak ajaib yaitu selama  dia tinggal Belanda sekian lama, justru dia tidak suka makan nasi, tapi lebih suka makan roti. "Nasi di sini beda dengan nasi di Indonesia. Kalau saya ke Indonesia  baru saya bisa makan nasi banyak. Rasanya lebih enak," katanya.  "Hihi...masak sih, Pak. Mungkin bapak masih terikat dengan romantisme masa lalu, " dalam hatiku.  Jadi  setiap hari sang istri makan nasi sementara si suami makan roti.  Istrinya pintar sekali bikin kue dan masak. Siang itu istrinya membawa bolu kukus satu loyang.  Di sini mereka menyebutnya roti  kukus. Bentuknya seperti marmer cake tapi dikukus. Waduh jadi ingat buatan mamaku. Bu Yeti ini selain jago bikin roti kukus juga jago sekali bikin lapis legit. Banyak orang di sini yang suka pesan lapis legit buatannya. Berbincang dengan mereka sungguh menyenangkan.

Obrol punya obrol ternyata saat itu bu Yeti dengkulnya sedang sakit. Biasanya wanita kalau  sudah berumur sering mengalami apa yang disebut osteoporosis di dengkul yang mengakibatkan sakit dan susah berjalan. Begitu pula dengan Ibu Yeti ini.  Rencananya dia akan dioperasi dengkulnya. Istilah mereka,  dengkulnya mau dibongkar diganti dengan teflon. Hehehe ada-ada aja.  Di sini banyak wanita yang dengkulnya mengalami gangguan memilih menjalani operasi. Hanya saja, kalau harus operasi dengkul lebih baik memang badannya jangan gemuk, karena jika badannya gemuk tetap susah berjalan. Karena harus menyangga badan yang berat.

Menjelang sore kita asik ngobrol sambil menikmati bakwan dengan cabe rawit ditingkah hujan di luar....hm nikmat dan tanpa terasa mereka pun akhirnya harus berpamitan.

Toren tempat minum teh.



Dari rumah Jan kita jalan-jalan ke ladang di belakang rumahnya untuk melihat Thee Koepel, toren tempat minum teh yang terletak di padang rumput.  Toren ini konon dulunya tempat minum teh untuk orang-orang kaya yang letak rumahnya tak jauh dari situ. Jadi bila saatnya minum teh, bel di toren itu akan dibunyikan lalu orang-orang kaya yang ada di dekat situ akan berjalan menuju toren tersebut. Mereka pun menaiki tangga toren dan duduk di terasnya untuk minum teh sambil memandangi padang rumput, padang bunga, dan sungai yang membelah diantaranya. Sungguh cantik luar biasa seperti di surga! Sayang saat itu jalan menuju toren padang rumputnya yang akan kita lewati sedang disebar tahi sapi (untuk pupuk) jadi baunya bukan main.  Cuma uniknya waktu menuju toren itu kita harus menyebrangi sungai dengan alat yang ditarik dengan tali. Oh iya di sekitar sungai itu juga kita bisa menemui tenda-tenda sewaan untuk mereka yang ingin merasakan hidup di alam bebas. Hidup di boeren, daerah pertanian. Aku sempat melihat keluarga dengan anak-anaknya yang masih kecil menyewa tenda dan bermain serta berenang di sungai. Ada lagi seorang  pemuda sedang asyik membaca buku di depan tenda di tengah ladang yang hening dan alami.



Ke rumah paman petani



Pagi-pagi jam sembilan kami berencana akan pergi ke Zutphen. Mau sarapan, tapi kok rasanya masih kenyang. Akhirnya perut  hanya kuisi dengan secangkir teh dan bubur ayam instan yang kubawa dari Indo. Sebetulnya sih buburnya enak, tapi sayang kebanyakan. Serba salah gak sarapan nanti takut masuk angin, mau sarapan tapi perut belum lapar.  Halah. Jam setengah sepuluh, kami pun berangkat. Perjalanan menuju Zutphen lumayan macet. Karena hari itu memang udara bagus, cuaca sangat cerah, jadi banyak orang yang pergi vakantie ke luar kota.  Di jalanan banyak terlihat mobil kamper (caravan) dengan membawa sepeda di belakangnya, juga mobil-mobil cabriolet, roll royce, dan ferrari yang ngebut setengah mati. Pemandangan yang gak mungkin aku temui di Jakarta yang macet! hehehe. Pemandangan di kiri dan kanan jalan tol sungguh meanjakan mata. Padang rumput hijau dengan rumah-rumah petani yang hangat. Wow...kehidupan yang makmur.

Sampai Zutphens sudah jam setengah dua belasan siang.  Kita pun istirahat sambil menikmati segelas  teh,  roti dan kroket. Oh iya aku suka sekali beli kroket lewat mesin  yang ada di cafe pinggir jalan. Rasanya pas di lidah. Ketimbang kroket yang dijual di tenda di pasar. Harusnya kroket yang di tenda itu kan lebih fresh langsung digoreng oleh kokinya. Benar-benar lidah yang aneh. Setelah agak kenyang makan roti dan kroket lalu kita beranjak ke pasar untuk membeli bunga untuk temennya Indah dan Chiel, yaitu seorang penjaga hutan sekaligus tukang kayu yang handal.  Sebuah meja besar dari kayu dengan gaya khas rumah pedesaan yang  ada di ruang tamu milik Indah di Zutphen adalah karyanya.

Zutphen seperti biasa kalau hari Sabtu ramai banyak turis dan orang yang jalan ke pasar, atau hanya sekedar minum ice cream, jalan-jalan, naik kano di kanal atau ngobrol di teras cafe yang berjajar di pinggir jalan.  Sedangkan jika hari biasa...sunyi sepi.  Tanpa terasa waktu terus beranjak sampailah jam setengah tiga siang, kami  berangkat ke rumah temennya Indah dan Chiel, seorang penjaga hutan. Tempatnya agak jauh, tapi pemandangan yang kami lewati begitu indah.  Rumah-rumah yang cantik, padang rumput dengan kuda dan sapi, hutan yang menawan. Sekitar satu jam sampailah kami di rumah yang dituju.  Rumahnya sangat khas.  Gaya bangunan tua dengan pintu serta jendela kayu berornamen warna merah dan hitam. Letaknya di pinggir jalan, di depannya hutan, sedangkan dibelakangnya merupakan padang rumput, ladang gandum, serta sebatang sungai mengalir di antaranya. Wow indah seperti di buku-buku cerita dongeng sebelum tidur. Si empunya rumah bernama Jan, 68 tahun, badannya tinggi besar dengan brewok panjang dan rambut gondrong berwarna putih. Saat itu dia menggunakan ikat kepala dan  kakinya bukan memakai sandal atau sepatu, tapi klompen kayu!  Awalnya terlihat aneh,  tapi ternyata orangnya baik dan ramah.  Dulunya dia bekerja di kehutanan di Hilversum, setelah 6 tahun di Hilversum kemudian ia dipindahlkan di daerah Zutphen ini dan dia sudah tinggal di rumahnya yang antik ini selama 32 tahun. Oh iya istrinya seorang wanita Belanda yang juga berbadan besar dan tegap.   Seorang perempuan sederhana, orang rumahan, wajahnya lebih mirip perempuan petani.  Mereka mempunyai 2 orang anak , laki-laki dan perempuan yang semuanya sudah berumah tangga dan tinggal beda kota dengan mereka.  Hari itu dua orang tua itu ditemani oleh 3 orang cucunya yang masih kecil.  Halaman rumahnya luas dipenuhi dengan mainan untuk cucu-cucunya seperti tenda, ayunan, jungkat-jangkit yang khusus dibikin sendiri oleh kakeknya yang tukang kayu.



Di halaman rumahnya tumbuh pohon ceri dan plum yang saat itu masih belum besar buahnya. Rumah Jan dan Raina ini benar-benar seperti rumah petani Belanda, persis seperti yang ada di buku-buku cerita.  Pemanasnyanya tidak dijalankan dengan listrik tetapi memakai kayu.  Bener-bener semua tradisional. Belum lagi  Raina suka sekali mengoleksi mulai dari buku sampai kaleng biskuit, boneka, cangkir, dan tempat nasi.   Kelder alias gudang bawah tanahnya terletak di belakang rumah dibuat sendiri dengan tangga tanah atapnya ditutupi pohon merambat.  Gelap dan sumpek, tapi didalamnya dingin sekali seperti kulkas.  Di kelder inilah mereka menyimpan kentang.  Belum lagi di kebunnya mereka menanam sayuran dan bunga. Di halaman samping banyak sekali  tumpukkan kayu-kayu yang telah dipotong rapi oleh Jan. Katanya kayu-kayu  sebanyak ini sengaja ia potong dengan rapi untuk persediaan (pemanas ruangan) selama 6 tahun, berjaga-jaga jika ia sudah tidak mampu lagi memotong kayu.  Mereka berdua jarang bepergian. Sehari-hari mereka hanya tinggal di rumah dan bertanam di kebunnya. Garasinya pun terletak di belakang rumah yang dibuat sendiri dari kayu. Kami mengobrol di halaman rumahnya yang luas di bawah pohon plum yang saat itu buahnya masih kecil-kecil. Sungguh aku seperti berada di halaman buku cerita dongeng HC Andersen. Jan dan Raina sangat menikmati hidupnya yang  jauh dan tak tersentuh oleh modernitas.



Bikin nastar



Untuk mengisi hari. Sepulang aku dari meditasi di dalam hutan hehehe...aku ingin mencoba membuat nastar. Semua bahan sudah tersedia. Resepnya pun ada (diambil dari buku terbitan Grasindo). Aku sih belum pernah bikin nastar dengan resep ini. Jadi ya coba-coba deh. Siapa tahu berhasil. Membuat nastar memang lebih ribet dibanding kaastengel. Karena kita harus bikin selai nanasnya dulu. Nanas yang sudah dikupas lalu diblender. Setelah itu dicampur gula dan vanili juga bubuk kayu manis. Lalu diaduk terus di atas kompor dengan api kecil. Setelah sat lalu  diangkat. Tunggu setelah dingin  kemudian dipulung kecil-kecil  untuk isian nastar. Untuk kulit nastar aku menggunakan Tafel Margarine. Margarine di sini beda dengan margarine yang biasa aku pakai di Jakarta. Di sini margarinenya tidak ada rasa asinnya. Plain. Tapi aroma dari susunya begitu terasa. Aku mengerjakannya sendirian. Rasanya sungguh menyenangkan. Satu demi satu nastar  yg telah diisi dengan selai kuletakkan di atas loyang.  Tanpa terasa nastar selesai kubuat. Aku semir di atasnya dengan kuning telur. Lalu nastar  siap dimasukkan ke dalam oven selama 50 menit. Nastar yang tadinya ukuran sedang, eh ketika matang jadi  membesar. Hehe ternyata mengembang. Tapi rasanya...hm lekker serasa lebaran deh.

Keindahan dalam hutan.


Pagi ini matahari bersinar terang. Udara memang cerah. Indah akan pergi ke dokter. Aku ambil sepeda lalu kukayuh ke dalam hutan. Rasanya sepeda terasa ringan. Mengapa aku selalu ingin pergi ke tempat yang mempesona itu lagi ; pemandangan sungai atau selokan yang jernih, tempat kuda-kuda berlarian , dan rumah cantik di dalam hutan?  Di sana aku biasanya duduk di bangku kayu sambil memandangi kuda-kuda yang gagah  perkasa tengah merumput. Juga angsa-angsa cantik berenang di kali kecil yang tenang. Suasananya begitu hening. Sesekali orang jogging atau naik sepeda lewat di belakangku duduk.  Aku seperti berada di tengah oase yang damai. Duduk di sana adalah meditasi. Jeda yang sungguh mewah, paling tidak untukku. Setelah aku puas meresapi, menghayati, mengamati, merasakan ketenangan indah luar biasa itu ku kayuh lagi sepedaku kembali pulang.