Kamis, 03 November 2011

Ke rumah paman petani



Pagi-pagi jam sembilan kami berencana akan pergi ke Zutphen. Mau sarapan, tapi kok rasanya masih kenyang. Akhirnya perut  hanya kuisi dengan secangkir teh dan bubur ayam instan yang kubawa dari Indo. Sebetulnya sih buburnya enak, tapi sayang kebanyakan. Serba salah gak sarapan nanti takut masuk angin, mau sarapan tapi perut belum lapar.  Halah. Jam setengah sepuluh, kami pun berangkat. Perjalanan menuju Zutphen lumayan macet. Karena hari itu memang udara bagus, cuaca sangat cerah, jadi banyak orang yang pergi vakantie ke luar kota.  Di jalanan banyak terlihat mobil kamper (caravan) dengan membawa sepeda di belakangnya, juga mobil-mobil cabriolet, roll royce, dan ferrari yang ngebut setengah mati. Pemandangan yang gak mungkin aku temui di Jakarta yang macet! hehehe. Pemandangan di kiri dan kanan jalan tol sungguh meanjakan mata. Padang rumput hijau dengan rumah-rumah petani yang hangat. Wow...kehidupan yang makmur.

Sampai Zutphens sudah jam setengah dua belasan siang.  Kita pun istirahat sambil menikmati segelas  teh,  roti dan kroket. Oh iya aku suka sekali beli kroket lewat mesin  yang ada di cafe pinggir jalan. Rasanya pas di lidah. Ketimbang kroket yang dijual di tenda di pasar. Harusnya kroket yang di tenda itu kan lebih fresh langsung digoreng oleh kokinya. Benar-benar lidah yang aneh. Setelah agak kenyang makan roti dan kroket lalu kita beranjak ke pasar untuk membeli bunga untuk temennya Indah dan Chiel, yaitu seorang penjaga hutan sekaligus tukang kayu yang handal.  Sebuah meja besar dari kayu dengan gaya khas rumah pedesaan yang  ada di ruang tamu milik Indah di Zutphen adalah karyanya.

Zutphen seperti biasa kalau hari Sabtu ramai banyak turis dan orang yang jalan ke pasar, atau hanya sekedar minum ice cream, jalan-jalan, naik kano di kanal atau ngobrol di teras cafe yang berjajar di pinggir jalan.  Sedangkan jika hari biasa...sunyi sepi.  Tanpa terasa waktu terus beranjak sampailah jam setengah tiga siang, kami  berangkat ke rumah temennya Indah dan Chiel, seorang penjaga hutan. Tempatnya agak jauh, tapi pemandangan yang kami lewati begitu indah.  Rumah-rumah yang cantik, padang rumput dengan kuda dan sapi, hutan yang menawan. Sekitar satu jam sampailah kami di rumah yang dituju.  Rumahnya sangat khas.  Gaya bangunan tua dengan pintu serta jendela kayu berornamen warna merah dan hitam. Letaknya di pinggir jalan, di depannya hutan, sedangkan dibelakangnya merupakan padang rumput, ladang gandum, serta sebatang sungai mengalir di antaranya. Wow indah seperti di buku-buku cerita dongeng sebelum tidur. Si empunya rumah bernama Jan, 68 tahun, badannya tinggi besar dengan brewok panjang dan rambut gondrong berwarna putih. Saat itu dia menggunakan ikat kepala dan  kakinya bukan memakai sandal atau sepatu, tapi klompen kayu!  Awalnya terlihat aneh,  tapi ternyata orangnya baik dan ramah.  Dulunya dia bekerja di kehutanan di Hilversum, setelah 6 tahun di Hilversum kemudian ia dipindahlkan di daerah Zutphen ini dan dia sudah tinggal di rumahnya yang antik ini selama 32 tahun. Oh iya istrinya seorang wanita Belanda yang juga berbadan besar dan tegap.   Seorang perempuan sederhana, orang rumahan, wajahnya lebih mirip perempuan petani.  Mereka mempunyai 2 orang anak , laki-laki dan perempuan yang semuanya sudah berumah tangga dan tinggal beda kota dengan mereka.  Hari itu dua orang tua itu ditemani oleh 3 orang cucunya yang masih kecil.  Halaman rumahnya luas dipenuhi dengan mainan untuk cucu-cucunya seperti tenda, ayunan, jungkat-jangkit yang khusus dibikin sendiri oleh kakeknya yang tukang kayu.



Di halaman rumahnya tumbuh pohon ceri dan plum yang saat itu masih belum besar buahnya. Rumah Jan dan Raina ini benar-benar seperti rumah petani Belanda, persis seperti yang ada di buku-buku cerita.  Pemanasnyanya tidak dijalankan dengan listrik tetapi memakai kayu.  Bener-bener semua tradisional. Belum lagi  Raina suka sekali mengoleksi mulai dari buku sampai kaleng biskuit, boneka, cangkir, dan tempat nasi.   Kelder alias gudang bawah tanahnya terletak di belakang rumah dibuat sendiri dengan tangga tanah atapnya ditutupi pohon merambat.  Gelap dan sumpek, tapi didalamnya dingin sekali seperti kulkas.  Di kelder inilah mereka menyimpan kentang.  Belum lagi di kebunnya mereka menanam sayuran dan bunga. Di halaman samping banyak sekali  tumpukkan kayu-kayu yang telah dipotong rapi oleh Jan. Katanya kayu-kayu  sebanyak ini sengaja ia potong dengan rapi untuk persediaan (pemanas ruangan) selama 6 tahun, berjaga-jaga jika ia sudah tidak mampu lagi memotong kayu.  Mereka berdua jarang bepergian. Sehari-hari mereka hanya tinggal di rumah dan bertanam di kebunnya. Garasinya pun terletak di belakang rumah yang dibuat sendiri dari kayu. Kami mengobrol di halaman rumahnya yang luas di bawah pohon plum yang saat itu buahnya masih kecil-kecil. Sungguh aku seperti berada di halaman buku cerita dongeng HC Andersen. Jan dan Raina sangat menikmati hidupnya yang  jauh dan tak tersentuh oleh modernitas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar