Jumat, 04 November 2011
Horor...hoor!
Gak terasa pulang dari rumah Narti jam sebelas malem. Sampai rumah jam 12 malem. Masuk halaman rumah harus melewati jalan hutan yang gelap gulita. Sepi gak ada siapa pun. Hanya suara kaki yang menginjak jalan kerikil. Sampai di depan pintu rumah, Indah baru sadar kalau kunci rumah hari itu tidak terbawa. Kita nge-bel rumah, tapi gak ada orang yang denger. Karena memang rumahnya besar dan kamar tidur terletak di lantai atas. Indah berusaha menelepon , tapi tidak ada yang menjawab. Indah ketok-ketok rumah juga gak ada yang denger. Menunggu pintu di buka di halaman rumah yang besar mana gelap, duh bikin bulu kuduk berdiri (dasar penakut). Untung akhirnya suaminya denger juga lalu pintu pun terbuka. Lega rasanya. Eits tapi sebentar, kok Indah gak langsung masuk rumah? Dan tiba-tiba dia bicara dengan bahasa yang tidak aku kenal. Karena hari sudah malam dan aku merasa takut untuk berlama-lama di halaman yang gelap dan sepi akhirnya aku pun langsung naik ke atas. Tapi sampai di atas aku tidak langsung bisa tidur bahkan sampai agak pagi aku baru ketiduran. Paginya aku bertanya pada Indah, katanya semalam pas dia mau tutup pintu gerbang, dia melihat banyak "makhluk". Lalu dia berusaha mengusirnya. Dia melihat tetangga sebelahnya memakai jasa orang pinter (dari afrika) untuk (mungkin) memagari rumahnya. Indah melihat banyak pocong di bawah pohon dekat gerbang rumahnya. Waduh.
Jalan-jalan ke Hoorn
Hari ini hujan lagi. Waduh bener deh kata orang, bahwa di Belanda hanya ada 3 hal tentang cuaca, yaitu angin, hujan, dan dingin. Gak apa lah hujan, toh masih ada matahari, jadi masih terang juga. Matahari itu benar-benar membuat kita jadi lebih bersemangat, gak merasa gloomy. Walau sebenarnya sih kata orang bijak, if you have a sunny heart, a cloudy day doesn't matter. Nanti siang rencananya kita mau jalan-jalan ke Hoorn. Lebih kurang satu jam dari Hilversum Berangkat dari rumah sekitar jam 2 siang. Sebelumnya Indah harus nyoblos pemilu dulu di Hilversum. Wah pengalaman baru nih liat nyoblos pemilu di negeri orang. Tempat pencoblosan di flat untuk orang-orang jompo. Flatnya bagus, bersih, super duper manusiawi. Bahkan nyaris seperti hotel bintang lima. Halamannya luas. Ada restorannya, teras dengan halaman rumput penuh bunga. Di taman itulah para manula bisa saling ngobrol, berjemur sinar matahari, atau sekedar membaca buku. Kamar-kamar mereka pun seperti layaknya di hotel dengan jendela dan balkon. Sekali lagi beginilah enaknya tinggal di negara makmur. Masa tua terjamin tanpa harus merepotkan anak cucu. Eh kembali ke pemilu. Overall tata caranya sama dengan di Indo. Ngambil form di meja panitia, lalu diisi, setelah itu masuk ke kotak pencoblosan. Selesai Indah nyoblos Pemilu, kita melaju ke rumah Dewi.
Perjalanan menuju Hoorn sedikit macet dan hari itu diguyur hujan yang lebat. Jalan tol berkabut saking hujan turun dengan derasnya. Anehnya aspal jalan tol tidak terlihat basah. Jadi tetap kering. Beda banget ama jalan di Indo yang kalau hujan sudah pasti licin. Bukan cuma itu penuh lubang lagi. Setelah sekitar satu jamlebih sedikit menembus derasnya hujan, kita sampai di Hoorn. Sebelum sampai di rumah Narti di Hoorn kita mampir dulu untuk membeli buah tangan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang di sini jika akan berkunjung ke rumah orang, membawa buah tangan.Buah tangan biasanya berupa bunga, kue, atau sesuatu yang seringkali disukai oleh orang yang mau kita kunjungi. Kita mampir ke supermarket, di sini kita membeli bunga lily warna putih dan cake.
Sampai di rumah Narti kita disuguhi lumpia, marmer cake (ini kesukaanku), lalu dia membuat sop buntut, makreel balado, ayam goreng, dan tumis sayuran. Waduh lezaat sekali. Narti memang jago masak. Spesialisnya bikin pepes ikan dan segala masakan yang terbuat dari ikan. Wuih rasanya mantap. Makan di rumah Narti persis seperti makan di resto Sunda. Lagi ngobrol ngalor ngidul, datanglah Ida dan temannya dari Indonesia namanya Nani. Akhirnya kita menyantap makanan yang sudah melototi kita dari tadi di meja. Sup buntutnya lezat, apalagi balado makreel. Setelah kenyang lalu kita diajak jalan-jalan sama Gerard (suaminya Narti) dan Narti, melihat-lihat centrum dan pelabuhan Hoorn. Kata Gerard, Hoorn ini (seperti kota di Belanda lainnya) dulu adalah laut yang dikeringkan lalu dijadikan kota. Jika kita ke kota ini kita akan melihat bendungan yang mengelilingi kita dan kelihatan kita berada di bawah laut. Kota Hoorn cukup menarik karena di sini dulu pusatnya VOC. Bahkan di centrum kota ini terdapat patung pendiri VOC Jan Pieter Zoen Coen. Di sini juga terdapat gedung bekas kantor VOC. Menarik sekali kota dengan pelabuhan kecil tapi pernah punya arti penting di jaman baheula. Di pelabuhan ini juga banyak sekali cafe dan resto dengan teras untuk minum kopi/teh. Tapi sayang karena hari itu hujan maka cafe pada sepi. Orang-orang jarang yang riwa-riwi di jalan. Sunyi. Kata Narti dulu waktu dia pertama kali menjejakan kaki di kota ini, bayangin dalam setahun cuma 2 hari, cuaca bagus dalam arti terang dan hangat. Selebihnya dingin, kelabu, dan hujan. Dia hampir gak betah. Tapi syukurlah katanya sekarang ini, dalam setahun dia merasa 2 bulan cuaca bagus. Apalagi katanya, sekarang orang-orang juga mulai banyak. Gak kayak dulu orangnya masih sedikit. Bangunan juga udah banyak yang direnovasi. Jadi lebih semarak. Dia gak kebayang gimana jaman dulu paling tidak tahun 70-an deh. Huh betapa sepi dan gak enaknya tinggal di Belanda. Oh iya Narti datang ke Belanda sekitar tahun 80-an. Jadi sekarang sudah 30 tahunan.
Saat kita diajak jalan-jalan ke centrum dan haven, langit mendung kelabu disertai hujan. Walau cuaca agak dingin kita terus menerobos hujan dengan basah-basah mencoba berfotoria di depan patung JP Coen, kantor VOC lalu di teras cafe depan pelabuhan dan daerah sekitarnya. Pelabuhan saat itu begitu tampak romantis dengan kapal-kapal layar yang sedang merapat. Pelabuhannya bersih. Di sekitarnya berderet cafe dan toko-toko. Dari sana lalu kita diajak jalan-jalan melihat daerah peternakan. Rumah-rumahnya lucu dan romantis sekali khas daerah boeren yang elok. Halamannya luas ditanami bunga-bunga nan cantik jelita. Jendela rumahnya pun indah dengan gordijn berenda. Rasanya nyaman dan damai tinggal di daerah seperti ini. Jalanannya pun sepi dan bersih. Waduh...seperti di film-film deh. Pedesaan di Belanda selalu saja mempesona. Tata kota di negara ini benar-benar teratur dan indah.
Kamis, 03 November 2011
Gak jadi ke Norway.
Semula Indah mengajakku pergi ke Swedia dan Norway dengan mobil. Perjalanan yang pasti sangat menyenangkan. Berangkat rencananya tanggal 24 Juni, tapi ntah mengapa medannya kok buatku terasa berat. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari. Kemping di perjalanan. Belum lagi menyebrang laut. Wah bisa gak ya aku?? Ntah bagaimana aku merasa ragu. Hari ke hari keraguan itu semakin kuat. Suatu hari aku berdoa, agar Tuhan memberikan jalan yang terbaik. Dan keesokan harinya eh Indah bilang padaku, tentang rencana itu. Dia juga ragu. Ragu karena dilihat aku belum siap dan ragu melihat kesehatannya yang kurang fit. Wah mendengar itu aku jadi lega. Lalu Indah menambahkan bahwa mending kita pergi ke daerah sini-sini aja Belanda dan Belgia. Wah kusambut dengan suka cita. Memang sejak aku datang aku melihat wajah Indah pucat. Dia bilang, kurang sinar matahari. Belanda memang agak pelit dengan sinar matahari. Misalnya sinar matahari muncul itu pun hanya sebentar-sebentar.
Pada suatu pagi, aku pergi bersepeda dengan Indah ke centrum. Ketika kita harus berhenti di lampu merah, tiba-tiba Indah jatuh. Aku pikir karena salah posisi berdiri, karena memang saat itu ia sedang melambaikan tangan ke temannya yang berada tak jauh dari situ. Setelah jatuh itu dia biasa lagi. Dan kita melanjutkan perjalanan menuju centrum untuk belanja. Bahkan siangnya kita pergi ke Amersfoort sampai malam.Setelah kejadian jatuh itu, keesokan harinya Indah pun cek ke dokter. Dokter menyuruhnya tes darah. Setelah di tes ternyata HB-nya hanya 4. Sangat rendah karena normalnya 8 sampai 9. Lalu Indah diberi obat dan 2 minggu lagi harus cek lagi. Sekali pun HB-nya 4, tapi tidak membuatnya down. Dia masih tetap seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Masih praktek mengobati orang. Masih naik sepeda, bekerja, menyetir mobil. Sama sekali tak ada yang berubah. Hanya saja, katanya, dia suka cepet capek dan matanya berat, tapi itu pun tidak membuatnya manja. Aku melihat ia mempunyai energi yang luar biasa besar. Dia nyaris jarang mengeluh. Bahkan tidak pernah sama sekali dan aktivitasnya pun tidak berkurang barang sedikit pun. Hebat. Aku salut padanya.
Hari itu jam 3 siang kita janjian akan pergi ke rumah Dewi di deket centrum, karena kemaren Dewi bikin asinan. Jadi hari itu kita memang akan mengudap asinan. hehe. Sampai di sana, seperti biasa, makan gebak, ada teh dan kopi, dan sudah tentu asinan yang kita tunggu. Ngobrol ngalor ngidul sampai jam 7 malem. Kita pun pulang
Daun, bunga, dan world cup.
Aku pikir aku beruntung datang ke sini di awal Mei, karena musim semi baru saja tiba. Aku masih bisa melihat tulip di Keukenhof bahkan di pinggir-pinggir jalan dan di kebun orang. Juga aku masih bisa melihat bunga Muur yang putih mungil menyemak di bawah pohon-pohon besar di hutan dan Lelitjes van Dalen, bunga warna putih kecil bentuknya seperti lonceng dan baunya wangi sekali. Lelitjes van Dalen ini nama lainnya Lily of the Valley. Pohonnya tidak tinggi nyaris seperti tanaman semak. Bunga ini juga sering kita lihat dijual di toko-toko bunga. Kata temanku yang tinggal di Swedia, kalau di sana tidak boleh sembarang dipetik. Hihi... beruntung di rumah temanku Indah, pohon bunga ini tumbuh liar di halaman belakang rumahnya. Sesekali aku memetiknya untuk kurangkai di dalam vas kecil lalu kutaruh di jendela. Selain kedua tanaman itu masih banyak lagi bunga-bunga lain yang tak kalah indahnya. Beberapa ada bunga-bunga di hutan yang sekarang sudah selesai berkembang.
Selain mengamati aneka bunga yang sangat memanjakan mata, aku juga bisa merasakan perubahan cuaca dan udara dimana daun-daun pohon semua masih berwarna hijau muda. Kelihatan begitu segaar dan sejuk. Alam begitu sangat damai. Daun-daun yang masih berwarna hijau muda itu kemudian pelan-pelan berubah menjadi hijau lebih tua. Pemandangan luar biasa. Aku seperti melihat kehidupan yang baru bertumbuh.
Oh iya kebetulan saat ini juga bersamaan menjelang diadakannya World Cup. Sebagai negara yang sangat maju dunia persebakbolaanya sudah pasti Belanda sangat antusias menyambut World Cup ini. Dimana-mana kita banyak melihat bendera oranye terpasang, baik bendera ukuran besar sampai flag chain dipasang di rumah-rumah. Beberapa waktu yang lalu sempat melihat stadionnya Ajax di Amsterdam. Wow...stadionnya besar dan megah. Aku pikir jika sebuah klub besar dan profesional memang harus punya stadion yang besar dan lengkap fasilitasnya. Itu baru stadionnya Ajax belum klub-klub lain di seantero Belanda. Kapan ya Indonesia yang punya dua ratus juta lebih penduduk bisa bicara di ajang persepakbolaan dunia? Hm...miris liat fasilitas dan pembinaanya yang masih jauh dibanding di sini.
Kedatangan tamu
Hari ini cuaca mendung bahkan sempat hujan gerimis. Begitulah di sini cuaca benar-benar tidak bisa diduga. Sebentar terang, sebentar mendung lalu hujan walaupun saat ini masuk musim semi.Karena hari ini adalah minggu jadi suasana agak berbeda. Kebetulan hari ini tidak pergi kemana-mana. Pagi-pagi aku ingin bikin bakwan alias bala-bala. Bahannya antara lain dari sisa tauge kemaren, dan wortel, juga daun bawang. Kali ini terigunya tidak aku campur dengan telur biar rasanya sama seperti bala-bala yang suka dijual abang-abang di pinggir jalan. Bumbunya cuma merica bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan bouilon. Setelah semua bahan dicampur lalu diaduk hingga merata lalu digoreng sesendok demi sesendok. Jadinya...lumayan untuk kudapan di hari yang mendung dan agak dingin. Enaknya memang dimakan panas-panas dengan cabe rawit. Kalo udah dingin gak begitu asik lagi.
Ketika waktu beranjak siang datanglah sepasang suami istri, namanya Pak Ferry dan ibu Yeti, mereka sudah tinggal di Belanda selama 58 tahun. Mereka berasal dari Jawa Timur. Pak Ferry asal Malang sementara istrinya Indo Surabaya. Ngobrol punya ngobrol, Pak Ferry itu dulunya adalah tentara pelajar lalu dia pernah mendapat bea siswa ke Belanda tapi setelah lulus dia tidak kembali ke Indonesia, tapi katanya uang selama dia bersekolah sudah dikembalikan kepada negara. Katanya loh...:) Pak Ferry punya kebiasaan yang agak ajaib yaitu selama dia tinggal Belanda sekian lama, justru dia tidak suka makan nasi, tapi lebih suka makan roti. "Nasi di sini beda dengan nasi di Indonesia. Kalau saya ke Indonesia baru saya bisa makan nasi banyak. Rasanya lebih enak," katanya. "Hihi...masak sih, Pak. Mungkin bapak masih terikat dengan romantisme masa lalu, " dalam hatiku. Jadi setiap hari sang istri makan nasi sementara si suami makan roti. Istrinya pintar sekali bikin kue dan masak. Siang itu istrinya membawa bolu kukus satu loyang. Di sini mereka menyebutnya roti kukus. Bentuknya seperti marmer cake tapi dikukus. Waduh jadi ingat buatan mamaku. Bu Yeti ini selain jago bikin roti kukus juga jago sekali bikin lapis legit. Banyak orang di sini yang suka pesan lapis legit buatannya. Berbincang dengan mereka sungguh menyenangkan.
Obrol punya obrol ternyata saat itu bu Yeti dengkulnya sedang sakit. Biasanya wanita kalau sudah berumur sering mengalami apa yang disebut osteoporosis di dengkul yang mengakibatkan sakit dan susah berjalan. Begitu pula dengan Ibu Yeti ini. Rencananya dia akan dioperasi dengkulnya. Istilah mereka, dengkulnya mau dibongkar diganti dengan teflon. Hehehe ada-ada aja. Di sini banyak wanita yang dengkulnya mengalami gangguan memilih menjalani operasi. Hanya saja, kalau harus operasi dengkul lebih baik memang badannya jangan gemuk, karena jika badannya gemuk tetap susah berjalan. Karena harus menyangga badan yang berat.
Menjelang sore kita asik ngobrol sambil menikmati bakwan dengan cabe rawit ditingkah hujan di luar....hm nikmat dan tanpa terasa mereka pun akhirnya harus berpamitan.
Ketika waktu beranjak siang datanglah sepasang suami istri, namanya Pak Ferry dan ibu Yeti, mereka sudah tinggal di Belanda selama 58 tahun. Mereka berasal dari Jawa Timur. Pak Ferry asal Malang sementara istrinya Indo Surabaya. Ngobrol punya ngobrol, Pak Ferry itu dulunya adalah tentara pelajar lalu dia pernah mendapat bea siswa ke Belanda tapi setelah lulus dia tidak kembali ke Indonesia, tapi katanya uang selama dia bersekolah sudah dikembalikan kepada negara. Katanya loh...:) Pak Ferry punya kebiasaan yang agak ajaib yaitu selama dia tinggal Belanda sekian lama, justru dia tidak suka makan nasi, tapi lebih suka makan roti. "Nasi di sini beda dengan nasi di Indonesia. Kalau saya ke Indonesia baru saya bisa makan nasi banyak. Rasanya lebih enak," katanya. "Hihi...masak sih, Pak. Mungkin bapak masih terikat dengan romantisme masa lalu, " dalam hatiku. Jadi setiap hari sang istri makan nasi sementara si suami makan roti. Istrinya pintar sekali bikin kue dan masak. Siang itu istrinya membawa bolu kukus satu loyang. Di sini mereka menyebutnya roti kukus. Bentuknya seperti marmer cake tapi dikukus. Waduh jadi ingat buatan mamaku. Bu Yeti ini selain jago bikin roti kukus juga jago sekali bikin lapis legit. Banyak orang di sini yang suka pesan lapis legit buatannya. Berbincang dengan mereka sungguh menyenangkan.
Obrol punya obrol ternyata saat itu bu Yeti dengkulnya sedang sakit. Biasanya wanita kalau sudah berumur sering mengalami apa yang disebut osteoporosis di dengkul yang mengakibatkan sakit dan susah berjalan. Begitu pula dengan Ibu Yeti ini. Rencananya dia akan dioperasi dengkulnya. Istilah mereka, dengkulnya mau dibongkar diganti dengan teflon. Hehehe ada-ada aja. Di sini banyak wanita yang dengkulnya mengalami gangguan memilih menjalani operasi. Hanya saja, kalau harus operasi dengkul lebih baik memang badannya jangan gemuk, karena jika badannya gemuk tetap susah berjalan. Karena harus menyangga badan yang berat.
Menjelang sore kita asik ngobrol sambil menikmati bakwan dengan cabe rawit ditingkah hujan di luar....hm nikmat dan tanpa terasa mereka pun akhirnya harus berpamitan.
Toren tempat minum teh.
Dari rumah Jan kita jalan-jalan ke ladang di belakang rumahnya untuk melihat Thee Koepel, toren tempat minum teh yang terletak di padang rumput. Toren ini konon dulunya tempat minum teh untuk orang-orang kaya yang letak rumahnya tak jauh dari situ. Jadi bila saatnya minum teh, bel di toren itu akan dibunyikan lalu orang-orang kaya yang ada di dekat situ akan berjalan menuju toren tersebut. Mereka pun menaiki tangga toren dan duduk di terasnya untuk minum teh sambil memandangi padang rumput, padang bunga, dan sungai yang membelah diantaranya. Sungguh cantik luar biasa seperti di surga! Sayang saat itu jalan menuju toren padang rumputnya yang akan kita lewati sedang disebar tahi sapi (untuk pupuk) jadi baunya bukan main. Cuma uniknya waktu menuju toren itu kita harus menyebrangi sungai dengan alat yang ditarik dengan tali. Oh iya di sekitar sungai itu juga kita bisa menemui tenda-tenda sewaan untuk mereka yang ingin merasakan hidup di alam bebas. Hidup di boeren, daerah pertanian. Aku sempat melihat keluarga dengan anak-anaknya yang masih kecil menyewa tenda dan bermain serta berenang di sungai. Ada lagi seorang pemuda sedang asyik membaca buku di depan tenda di tengah ladang yang hening dan alami.
Ke rumah paman petani
Pagi-pagi jam sembilan kami berencana akan pergi ke Zutphen. Mau sarapan, tapi kok rasanya masih kenyang. Akhirnya perut hanya kuisi dengan secangkir teh dan bubur ayam instan yang kubawa dari Indo. Sebetulnya sih buburnya enak, tapi sayang kebanyakan. Serba salah gak sarapan nanti takut masuk angin, mau sarapan tapi perut belum lapar. Halah. Jam setengah sepuluh, kami pun berangkat. Perjalanan menuju Zutphen lumayan macet. Karena hari itu memang udara bagus, cuaca sangat cerah, jadi banyak orang yang pergi vakantie ke luar kota. Di jalanan banyak terlihat mobil kamper (caravan) dengan membawa sepeda di belakangnya, juga mobil-mobil cabriolet, roll royce, dan ferrari yang ngebut setengah mati. Pemandangan yang gak mungkin aku temui di Jakarta yang macet! hehehe. Pemandangan di kiri dan kanan jalan tol sungguh meanjakan mata. Padang rumput hijau dengan rumah-rumah petani yang hangat. Wow...kehidupan yang makmur.
Sampai Zutphens sudah jam setengah dua belasan siang. Kita pun istirahat sambil menikmati segelas teh, roti dan kroket. Oh iya aku suka sekali beli kroket lewat mesin yang ada di cafe pinggir jalan. Rasanya pas di lidah. Ketimbang kroket yang dijual di tenda di pasar. Harusnya kroket yang di tenda itu kan lebih fresh langsung digoreng oleh kokinya. Benar-benar lidah yang aneh. Setelah agak kenyang makan roti dan kroket lalu kita beranjak ke pasar untuk membeli bunga untuk temennya Indah dan Chiel, yaitu seorang penjaga hutan sekaligus tukang kayu yang handal. Sebuah meja besar dari kayu dengan gaya khas rumah pedesaan yang ada di ruang tamu milik Indah di Zutphen adalah karyanya.
Zutphen seperti biasa kalau hari Sabtu ramai banyak turis dan orang yang jalan ke pasar, atau hanya sekedar minum ice cream, jalan-jalan, naik kano di kanal atau ngobrol di teras cafe yang berjajar di pinggir jalan. Sedangkan jika hari biasa...sunyi sepi. Tanpa terasa waktu terus beranjak sampailah jam setengah tiga siang, kami berangkat ke rumah temennya Indah dan Chiel, seorang penjaga hutan. Tempatnya agak jauh, tapi pemandangan yang kami lewati begitu indah. Rumah-rumah yang cantik, padang rumput dengan kuda dan sapi, hutan yang menawan. Sekitar satu jam sampailah kami di rumah yang dituju. Rumahnya sangat khas. Gaya bangunan tua dengan pintu serta jendela kayu berornamen warna merah dan hitam. Letaknya di pinggir jalan, di depannya hutan, sedangkan dibelakangnya merupakan padang rumput, ladang gandum, serta sebatang sungai mengalir di antaranya. Wow indah seperti di buku-buku cerita dongeng sebelum tidur. Si empunya rumah bernama Jan, 68 tahun, badannya tinggi besar dengan brewok panjang dan rambut gondrong berwarna putih. Saat itu dia menggunakan ikat kepala dan kakinya bukan memakai sandal atau sepatu, tapi klompen kayu! Awalnya terlihat aneh, tapi ternyata orangnya baik dan ramah. Dulunya dia bekerja di kehutanan di Hilversum, setelah 6 tahun di Hilversum kemudian ia dipindahlkan di daerah Zutphen ini dan dia sudah tinggal di rumahnya yang antik ini selama 32 tahun. Oh iya istrinya seorang wanita Belanda yang juga berbadan besar dan tegap. Seorang perempuan sederhana, orang rumahan, wajahnya lebih mirip perempuan petani. Mereka mempunyai 2 orang anak , laki-laki dan perempuan yang semuanya sudah berumah tangga dan tinggal beda kota dengan mereka. Hari itu dua orang tua itu ditemani oleh 3 orang cucunya yang masih kecil. Halaman rumahnya luas dipenuhi dengan mainan untuk cucu-cucunya seperti tenda, ayunan, jungkat-jangkit yang khusus dibikin sendiri oleh kakeknya yang tukang kayu.
Di halaman rumahnya tumbuh pohon ceri dan plum yang saat itu masih belum besar buahnya. Rumah Jan dan Raina ini benar-benar seperti rumah petani Belanda, persis seperti yang ada di buku-buku cerita. Pemanasnyanya tidak dijalankan dengan listrik tetapi memakai kayu. Bener-bener semua tradisional. Belum lagi Raina suka sekali mengoleksi mulai dari buku sampai kaleng biskuit, boneka, cangkir, dan tempat nasi. Kelder alias gudang bawah tanahnya terletak di belakang rumah dibuat sendiri dengan tangga tanah atapnya ditutupi pohon merambat. Gelap dan sumpek, tapi didalamnya dingin sekali seperti kulkas. Di kelder inilah mereka menyimpan kentang. Belum lagi di kebunnya mereka menanam sayuran dan bunga. Di halaman samping banyak sekali tumpukkan kayu-kayu yang telah dipotong rapi oleh Jan. Katanya kayu-kayu sebanyak ini sengaja ia potong dengan rapi untuk persediaan (pemanas ruangan) selama 6 tahun, berjaga-jaga jika ia sudah tidak mampu lagi memotong kayu. Mereka berdua jarang bepergian. Sehari-hari mereka hanya tinggal di rumah dan bertanam di kebunnya. Garasinya pun terletak di belakang rumah yang dibuat sendiri dari kayu. Kami mengobrol di halaman rumahnya yang luas di bawah pohon plum yang saat itu buahnya masih kecil-kecil. Sungguh aku seperti berada di halaman buku cerita dongeng HC Andersen. Jan dan Raina sangat menikmati hidupnya yang jauh dan tak tersentuh oleh modernitas.
Bikin nastar
Untuk mengisi hari. Sepulang aku dari meditasi di dalam hutan hehehe...aku ingin mencoba membuat nastar. Semua bahan sudah tersedia. Resepnya pun ada (diambil dari buku terbitan Grasindo). Aku sih belum pernah bikin nastar dengan resep ini. Jadi ya coba-coba deh. Siapa tahu berhasil. Membuat nastar memang lebih ribet dibanding kaastengel. Karena kita harus bikin selai nanasnya dulu. Nanas yang sudah dikupas lalu diblender. Setelah itu dicampur gula dan vanili juga bubuk kayu manis. Lalu diaduk terus di atas kompor dengan api kecil. Setelah sat lalu diangkat. Tunggu setelah dingin kemudian dipulung kecil-kecil untuk isian nastar. Untuk kulit nastar aku menggunakan Tafel Margarine. Margarine di sini beda dengan margarine yang biasa aku pakai di Jakarta. Di sini margarinenya tidak ada rasa asinnya. Plain. Tapi aroma dari susunya begitu terasa. Aku mengerjakannya sendirian. Rasanya sungguh menyenangkan. Satu demi satu nastar yg telah diisi dengan selai kuletakkan di atas loyang. Tanpa terasa nastar selesai kubuat. Aku semir di atasnya dengan kuning telur. Lalu nastar siap dimasukkan ke dalam oven selama 50 menit. Nastar yang tadinya ukuran sedang, eh ketika matang jadi membesar. Hehe ternyata mengembang. Tapi rasanya...hm lekker serasa lebaran deh.
Keindahan dalam hutan.
Pagi ini matahari bersinar terang. Udara memang cerah. Indah akan pergi ke dokter. Aku ambil sepeda lalu kukayuh ke dalam hutan. Rasanya sepeda terasa ringan. Mengapa aku selalu ingin pergi ke tempat yang mempesona itu lagi ; pemandangan sungai atau selokan yang jernih, tempat kuda-kuda berlarian , dan rumah cantik di dalam hutan? Di sana aku biasanya duduk di bangku kayu sambil memandangi kuda-kuda yang gagah perkasa tengah merumput. Juga angsa-angsa cantik berenang di kali kecil yang tenang. Suasananya begitu hening. Sesekali orang jogging atau naik sepeda lewat di belakangku duduk. Aku seperti berada di tengah oase yang damai. Duduk di sana adalah meditasi. Jeda yang sungguh mewah, paling tidak untukku. Setelah aku puas meresapi, menghayati, mengamati, merasakan ketenangan indah luar biasa itu ku kayuh lagi sepedaku kembali pulang.
Selasa, 17 Mei 2011
Kangen.
Tiba-tiba ingat puisinya WS. Rendra yang ciamik. Kangen ibu dan bapakku.
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.
Kau tak akan mengerti segala lukaku
Karena luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
Itulah berarti aku tungku tanpa api.
Senin, 16 Mei 2011
Berkunjung ke Amersfoort
Tak lama setelah itu, hari itu aku gak mandi, kita pergi ke Amersfoort. Di sana kita akan bertemu dengan Eci, perempuan asal Maluku yang menikah dengan pria Belanda. Eci orangnya ramah. Rambutnya panjang keriting. Suasana rumahnya terasa hangat. Halaman belakang yang biasa bagi orang Belanda dijadikan kebun dibuat suasana seperti cafe di Bali dengan sofa dari rotan dan bantalan yang empuk. Pot-pot bunga dan lilin. Eci mengundang kita dan dia menyajikan barbeque. Dia membuat salad sayur dan salad kentang. Tak lama kemudia datang lagi temennya Eci bernama Dewi dan 3 orang anaknya. Dewi membawa daging babi yang sudah dibumbui. Jadilah 3 macam daging untuk barbeque: ayam, kambing dan babi. Suasana jadi meriah, karena tak lama kemudian datang lagi temen mereka yaitu Herna yang juga menikah dengan pria Belanda. Suami Eci yang seharusnya masih ada kerjaan di luar, lalu datang untuk membantu membakar daging. Dia juga yang sibuk cuci piring setelah makanan selesai. Suami Eci yang bertubuh tinggi ini orang Belanda yang amat suka dengan lagu-lagu Indonesia. Koleksi cd-nya kebanyakan lagu-lagu Indonesia, mulai dari Sheila Majid, Marcell, Utha Likumahua...wah banyak sekali. Katanya Eci, dulu waktu musim kaset, kalo pulang dari Indonesia dia bisa membeli kaset sebanyak 70 biji untungnya di imigrasi gak diperiksa. Eci punya seorang anak laki-laki yang wajahnya lebih dominan ke ibunya. Kulitnya pun gelap dengan rambut kribo seperti Michael Jackson. Rumah-rumah di Belanda sungguh menarik bagiku. Setiap daerah beda-beda. Walau pun kecil-kecil tapi bentuknya cantik dengan pembagian ruangan yang sangat efisien.
Sehabis makan, aku diajak jalan melihat centrumnya Amersfoort. Karena hari sudah menjelang malam jadi toko-toko sudah tutup, tapi cafe dan resto masih banyak yang buka. Di Amersfoort ini juga ada benteng yang dulunya mungkin untuk membentengi kota itu. Di dalam benteng itu banyak kita temui bangunan rumah yang sudah berusia ratusan tahun dan masih terawat dengan baik. Ada yang masih dihuni tapi ada juga yang sudah dijadikan toko atau cafe. Di centrum ini juga ada gereja dengan menaranya yang tinggi yang konon merupakan tengah-tengah dari kota Nederland. Di alun-alun centrum ini banyak orang yang menikmati makanan dan minuman di teras cafe atau restoran. Walau hari terus beranjak gelap kami terus berjalan menyusuri jalan dan gang yang rasanya sulit untuk diucapkan, begitu indah dan menarik
Belanja yuk belanja.
Pagi kemaren sekitar jam 9.30 kita berencana mau ke pasar kaget di Hilversum. Pasar seperti ini memang hanya ada di hari Rabu dan Sabtu letaknya deket centrum. Bangun pagi aku langsung minum teh (kebiasaan selama di sini dan aku biasa minum teh sosro yang aku bawa dari Jakarta) lalu makan roti habis itu aku ganjal lagi dengan minum segelas susu untuk bahan bakar menggenjot sepeda. Pagi itu cuaca sangat cerah. Matahari bersinar dengan terang. Udara pun terasa hangat. Hari seperti ini orang-orang di sini sudah melepas jaket dan syalnya, tapi aku masih harus memakai jaket dan syal untuk menghalau angin. Karena cuaca sangat indah ntah bagaimana juga mempengaruhi mood. Selama hampir sebulan di sini aku sudah mulai mengetahui slag menggenjot sepeda. Aku tidak lagi terlalu bersemangat di awalnya, tapi sepeda kugenjot pelan tapi konstan. Sepeda yang aku naiki memang ada verseneling otomatis. Kadang suka ngeri juga ketika sampai di jalan dengan mobil di sebelah kiri dan jalur sepeda sempit hanya kurang lebih 5 jengkal dan itu pun juga masih harus berbagi dengan sepeda-sepeda lain. Aku suka takut jatuh juga.Tanpa terasa kita sampai di pasar. Pasarnya memang baru buka. Di pasar sini dijual aneka bunga dan bunganya pun tergantung musimnya. Selain itu juga ada tanamanan, mulai dari tanaman sayur, bumbu-bumbu sampai jagung manis yang semua dijual dalam ukuran yang masih kecil, mungkin baru sejengkal tangan. Selain itu di pasar ini juga banyak digelar pakaian, t-shirt, celana panjang dengan versi pasar tentunya. Aneka pernik tanaman dan bunga seperti keranjang rotan, vas bunga, aneka lilin dan tempatnya yang cantik, lampu taman. Wah sepertinya orang-orang Belanda suka sekali pernik seperti ini. Keranjang rotan itu di cat warna putih atau abu-abu. Selain itu ada juga pedagang ikan, keju, buah-buahan. Dan yang menurutku unik ada salah satu pedagang asal Suriname yang menjual singkong (dengan masih ada kulitnya sementara kalo beli di supermarket besar singkong sudah dikupas dan dikukus lalu dibekukan), lalu ada labu, ubi, oyong, sayuran, pokoknya dagangan yang dijual oleh orang Suriname ini bener-bener seperti yang biasa kita liat di Indonesia. Di kedai pak Suriname ini Indah membeli ubi. Hari itu Indah juga membeli 2 potong nanas yang sudah dikupas seharaga 1 euro lebih (dulu katanya nanas ini termasuk buah tropis yang eksklusif tapi sekarang sudah tidak lagi), beli buah stroberi, lampu taman dan lilin untuk diberikan kepada temannya di Amersfoort. Ia juga membeli asparagus dan beberapa tanaman sayur. Keranjang sepedanya di kiri kanan penuh dengan barang belanjaan. Kita pun meluncur pulang. Sampai di rumah kok kepala kliyengan ya??? Ah akhirnya bikin teh anget lagi dan makan pisang. Ditambah lumpia yang dimakan dengan sambal botol. Hm...yummy!
Ke hutan yang cantik
Hari ini belum ada rencana. Mungkin nanti jalan-jalan aja ke hutan. Hari ini masih dingin aja. Mendung masih saja menggayut di langit. Udara yang dingin membuat malas mandi. Barusan makan sedikit nasi, karedok, dan pepes ikan sisa pesta kemaren di Hoorn, tapi enak juga loh. Jika matahari tidak muncul suasana hati jadi gloomy. Gak kebayang selama 8 bulan merasakan hari tanpa matahari???Tadi pagi iseng ...setrika baju. Setrikaan gak banyak. Habis selesai setrika terus mau ngapain yaaa??? Kok gak ada ide gini???? Matahari keluar masuk aja. Sebentar terang, sebentar hilang. Hilang datang hilang datang. Di sini memang cuaca sering berubah. konon yang pasti hanya 3 yaitu: angin, dingin, dan hujan.Melihat Indah tinggal di pinggir hutan. Hutannya sangat bersih tak ada sedikit pun sampah yang terlihat. Pohon yang rubuh melintang pun tak kita temui. Jika kita akan memotong dahan pohon biasanya kita minta jasa pemotong pohon yang memang memiliki keahlian khusus. Jasa mereka memang gak murah. Misal, kata indah, untuk memotong satu batang pohon aja, tarifnya 1.700 euro, tapi peralatan mereka sangat canggih dan rapi. Setelah mereka bekerja memotong pohon tak ada kotoran atau sisa dahan pohon atau daun yang tersisa
Hari itu cuaca mulai bagus. Aku berniat untuk jalan-jalan sendiri ke hutan. Aku berjalan menyusuri jalan mengikuti langkah kaki. Kadang di jalan aku temui orang-orang yang naik sepeda mau pergi ke sekolah ke tempat kerja atau sekedar berjalan-jalan menikmati cuaca yang cerah. Sampai kutemui lapangan golf di tengah hutan, padang gandum, rumah penjaga hutan yang cantik, sungai yang bening ( selokan lebih tepatnya) dengan bayangan pohon yang membayang di airnya yang jernih, bebek-bebek yang berenang di air, burung-burung, bahkan kuda-kuda di lapangan rumput yang hijau. Hm seperti di negeri dongeng cerita HC Andersen. Aku senang sekali bisa menemukan keindahan ini dan aku sangat berterima kasih pada semesta bisa melihat semua ini. Semakin jauh semakin jauh aku melangkah sampai akhirnya aku tersadar takut kesasar pulang. Akhirnya kusudahi petualanganku masuk ke hutan pagi itu. Esok aku berjanji akan kembali menyusurinya
Mampir Ke rumah Ida di Benningbroek
Dari tempat tinggal Irma kita melaju lagi ke rumah Ida di Benningbroek. Rumah Ida terletak di pinggir jalan, di seberangnya padang rumput tempat kuda-kuda merumput. Di tempat ini dia hidup sendiri karena suaminya sudah meninggal. Kebun di belakang rumahnya luas sekali dan bagus. Rumahnya sendiri sangat kuno. Loteng atau lantai atas rumahnya seperti dalam film-film horor, gelap dan masih tercium ruangan yang tak berpenghuni. Di loteng itu tersimpan barang-barang kuno peninggalan orang tua suaminya Ida. Bahkan di sana masih tersimpan boks bayi bekas suaminya Ida waktu kecil. Huh gak kebayang usia boks itu udah 86 tahun! Lantai loteng terasa hangat karena terbuat dari kayu. Tanah di rumah Ida kelihatan subur karena bunga peony tumbuh dengan bagusnya. Di sini aku baru tahu yang namanya bunga Peony, orang Belanda menyebutnya Peon Rose, sangat indah dan harum baunya. Sayang hari sudah mulai gelap, sudah jam 11 malam. Aku tak bisa mengeksplore halaman belakang rumah Ida yang luas. Kita pun pulang. Dalam perjalanan pulang aku sempet tertidur di mobil. Sampai rumah udah ngantuk, tapi herannya pas udah naik ke atas dan berada di tempat tidur kok mata gak bisa dipejamkan?? Akhirnya tidur bangun tidur bangun. Jam 2 pagi gak terasa bablas juga, bangun-bangun jam 7.40 pagi.
Minggu, 15 Mei 2011
Pesta di Hoorn
Hari minggu ini ramalan cuaca mengatakan akan hujan. Dan memang dari pagi ujan sudah mulai turun. Pagi-pagi aku bikin misro, tepung singkong yang didalemnya diisi gula merah. Enaknya di sini singkong gak usah marut. Karena udah banyak dijual singkong yang udah diparut dan kelapa yang juga udah diparut, jadi tinggal campur aja dikasih garam sedikit plus air lalu dipulung dikasih gula merah di dalamnya lalu digoreng beres deh. Indah bikin moschou yaitu tart yang banyak disukai orang-orang Belanda. Caranya simpel, krem dan gula dikocok lalu masukkan keju buat kue terus dikocok pelan hanya untuk tercampur rata aja. Lalu biskuit marie yang udah dihancurkan di taruh di loyang sebagai dasar dan adonan yang tadi diletakkan diatasnya lalu disemir dengan moschou kaleng (seperti selai dengan buah ceri yang masih utuh) lalu diamkan di dalam kulkas. Sekitar jam satu siang kita berangkat ke Hoorn kurang lebih satu jam dari Hilversum. Perjalanan walau hujan tapi cuaca lumayan terang. Di jalan kita banyak menyaksikan orang-orang bersepeda, berkano, atau jalan kaki walau hari hujan. kok gak takut masuk angin ya?? Kata indah, yaa...daripada mereka sumpek di dalam rumah mending mereka ke luar rumah walau hujan turun. perjalanan dari hilversum ke hoorn walaupun memakan waktu satu jam tapi hampir tidak terasa. karena gak ada macet dan jalanan mulus, dan pemandangan bagus. Sampai di sana (nama jalannya De Wieken) tuan rumah sudah menyiapkan banyak makanan seperti sate ayam dan kambing lengkap dengan bumbu kacang dan sambal kecap tomat, jeruk nipis, dan cabe rawit juga tahu taoco, kering tempe, karedok yang rasanya yummy, lambchop...wah lekker. Tapi semua itu gak bisa langsung disantap, kita masih harus menunggu jam makan malam yaitu sekitar jam tujuh malem. Sementara perut udah keroncongan. Untuk ngeganjel perut akhirnya disumpel aja dulu dengan teh. Segelas teh tandas tambah lagi. Bosen minum teh ganti dengan segelas jus orange plus sebuah martabak telor dan 2 biji misro yang dibawa dari rumah. Saat itu udara terasa rada dingin. Oh iya rumah Irma ini bergaya rada modern. Hal itu bisa dilihat dengan banyak sentuhan stainless steel. Isi rumah tertata apik. Aku sempat melihat kamar mandi tuan rumah yang terletak di lantai atas, sungguh perfect! Dan yang mengagumkan lagi ternyata semua itu dikerjakan sendiri bersama suaminya. Suaminya Irma membuat sendiri lampu dan kran dari stainless steel. Hebat euy semua orang di sini (mungkin karena terpaksa) jadi banyak yang pandai menukang. Eduuunnn.Hari tu udara begitu dingin.Untuk mengusir dingin, aku coba ikut-ikutan bakar sate dan lamb chop. Lmayan hangat walau baju bau sate. Wah makan di sini sungguh lekker, maklum yang bikin ibu-ibu jago masak. Ngobrol punya ngobrol gak terasa waktu sudah menujukkan jam 10 malam.
Ulang tahun Aminah
Hari ini tadinya mau ke Zutphen, tapi gak jadi. Karena Indah capek. Akhirnya kita di rumah aja. Aku bantuin setrika pakaian yang tidak terlalu banyak, sambil menghangatkan badan. Indah mengepel, bersihin kamar anaknya, ngelap kaca, bersihin pintu-pintu. Waduh aku jadi gak enak nih. Nanti siangan mau ada rencana belanja di Kerkelanden dan melihat pasar malam kecil di daerah Hilversum terus sorenya ke ulang tahun temennya Indah, namanya Aminah. Akhirnya kita gak jadi belanja di Kerkelanden, tapi di Centrum. Belanja naik sepeda jalan menanjak menuju centrum membuat napasku tersengal-sengal. Karena masih saja belum terbiasa hehehehe. Di Hilversum sempet melihat bazaar ( bazaar on the street). Ada yang jualan baju, makanan, sepatu, hiburan, sampai mainan anak-anak seperti merry go around dan tornado tapi versi ringannya. Bazaar di gelar di sepanjang jalan deket centrum. Sehabis dari situ aku dan Indah belanja di Albert Heijn (Hero-nya Belanda), yang ada di mana-mana di negeri Belanda. Pulang dari belanja....weleh kok cape banget yak.
Sore sekitar jam 5 sore, kita berangkat naik sepeda ke rumah Aminah padahal paha belum selesai pegelnya en kepala rada kliyengan bow! Sebelum genjot sepeda aku makan pisang dulu untuk nambah energi. Perjalanan ke rumah Aminah awalnya memang datar, tapi agak lama jalan mulai menanjak hehe ...genjotan yang tadinya semangat mulai melemah. Napas ngos-ngosan. ...hehe, kalau mau mengaso itu bukan cara yang bagus. Karena sepeda ini makin digenjot sebenernya makin ringan. Ah...akhirnya sampai juga di rumah Aminah,tamu-tamu udah mulai berdatangan. Ada yang datang naik mobil ada juga yang naik sepeda. Aku melongok di dapur, makanan banyak sekali. Bikin ngiler ada bami goreng, ayam panggang, nasi kuning, dan banyak lagi, tapi dari semua yang paling menggoda adalah sambal terasi yang kelihatan sangat menggiurkan. Pertama datang kita ditawarkan aneka tart atau cake lalu seperti biasa, kopi atau teh, wine atau bir. Kopi dan teh biasa disajikan dengan susu, tapi bisa juga tidak, sesuai selera aja. Jam makan malam biasanya dimulai jam 7 malam. Menurut ramalan cuaca memang hari itu akan hujan, tapi untungnya pas sampai situ hujan baru turun. Tamu yang tadinya duduk di teras belakang menghadap kebun, lalu pindah ke dalam. Suasana jadi rame dan meriah. Oh iya kebanyakan yang datang adalah teman-teman tuan rumah yang rata-rata beristrikan orang Indonesia sementara suami mereka orang Belanda atau Indo Belanda, tapi ada juga yang beristrikan orang Jepang. Dari situ aku mengenal banyak karakter orang. Ada yang suka bicara blak-blakan dengan topik yang vulgar, ada yang lebih lembut dengan pembicaraan yang lebih dalam. Semua orang itu akhirnya nanti akan terseleksi sendiri. Di dalam pertemuan itu aku mengenal sosok wanita Jepang bernama Keiko yang bersuamikan orang Belanda. Sebelum tinggal Belanda ia pernah tinggal di Inggris. Seperti layaknya wanita Jepang, Keiko sangat santun. Bicara dengannya sangat menyenangkan. Dia cerita, bahwa cuaca di Belanda ini membuatnya depresi. Karena 4 bulan cuaca enak, lalu yang 8 bulan cuaca gak bagus dan itu membuatnya depresi. Saat ini dia sudah tinggal di Belanda selama puluhan tahun. Dulu, katanya pertama kali ke Belanda...dia merasa senang. "karena saya kan masih muda, tapi sekarang 'mata' saya berubah. Saya merasa gak bahagia," katanya. "Dua kaki saya seperti berjalan tak seiring yang satu menapak di Belanda sedang yang satu lagi di Jepang. Lama-lama saya capek makanya suatu hari nanti saya mau pindah dari sini," katanya. Keiko berubuh kecil dengan rambut pendek. "Dulu rambut saya panjang dan suka dikelabang. Orang menyangka saya orang Indian dari Amerika Selatan. ....hehehe." katanya sambil tertawa. Kalau dilihat-lihat Keiko memang seperti orang Indian. Keiko mempelajari reiki untuk mengobati diri sendiri. Sejak dia belajar reiki katanya intuisinya jadi makin tajam.
Oh iya, di sini aku juga bertemu dengan orang Indonesia berdarah Ambon, namanya Paul, yang baru saja menikah dengan wanita asal Indonesia. Istrinya seorang dokter gigi. Paul sebelum menikah dengan Sisca, nama istri barunya, telah memiliki 2 orang anak dari istri pertamanya yang sudah meninggal. Sisca sangat peduli dengan masalah pendidikan. Di Belanda yang kata Sisca, disiplinnya kurang bagus. "Bayangin, anak berangkat sekolah lalu gak lama kemudian sudah pulang, karena gurunya tidak masuk. Jadi setiap hari kita harus buka email untuk menge-cek apakah hari itu ada pelajaran tau tidak. Karena guru bisa aja tiba-tiba tidak bisa masuk mengajar," katanya. Wah ini aku juga baru tahu. "Belum lagi kalau ada tes atau ujian. Anak udah belajar, tiba-tiba besoknya si guru gak masuk. Tes ditunda. Duh ini aneh banget. Kalau di Indonesia yang namanya anak ujian itu kan udah ada jadwalnya,"kata Sisca lagi.Dia juga cerita tentang tes bahasa Belanda. Bagaimana pemerintah Belanda memberikan subsidi untuk mereka (pendatang) yang tinggal di Belanda untuk mempelajari bahasa Belanda.Tanpa terasa waktu udah jam12 malam. Kita pun pulang dengan menggenjot sepeda. Udara di luar dingin dan gerimis.
Sore sekitar jam 5 sore, kita berangkat naik sepeda ke rumah Aminah padahal paha belum selesai pegelnya en kepala rada kliyengan bow! Sebelum genjot sepeda aku makan pisang dulu untuk nambah energi. Perjalanan ke rumah Aminah awalnya memang datar, tapi agak lama jalan mulai menanjak hehe ...genjotan yang tadinya semangat mulai melemah. Napas ngos-ngosan. ...hehe, kalau mau mengaso itu bukan cara yang bagus. Karena sepeda ini makin digenjot sebenernya makin ringan. Ah...akhirnya sampai juga di rumah Aminah,tamu-tamu udah mulai berdatangan. Ada yang datang naik mobil ada juga yang naik sepeda. Aku melongok di dapur, makanan banyak sekali. Bikin ngiler ada bami goreng, ayam panggang, nasi kuning, dan banyak lagi, tapi dari semua yang paling menggoda adalah sambal terasi yang kelihatan sangat menggiurkan. Pertama datang kita ditawarkan aneka tart atau cake lalu seperti biasa, kopi atau teh, wine atau bir. Kopi dan teh biasa disajikan dengan susu, tapi bisa juga tidak, sesuai selera aja. Jam makan malam biasanya dimulai jam 7 malam. Menurut ramalan cuaca memang hari itu akan hujan, tapi untungnya pas sampai situ hujan baru turun. Tamu yang tadinya duduk di teras belakang menghadap kebun, lalu pindah ke dalam. Suasana jadi rame dan meriah. Oh iya kebanyakan yang datang adalah teman-teman tuan rumah yang rata-rata beristrikan orang Indonesia sementara suami mereka orang Belanda atau Indo Belanda, tapi ada juga yang beristrikan orang Jepang. Dari situ aku mengenal banyak karakter orang. Ada yang suka bicara blak-blakan dengan topik yang vulgar, ada yang lebih lembut dengan pembicaraan yang lebih dalam. Semua orang itu akhirnya nanti akan terseleksi sendiri. Di dalam pertemuan itu aku mengenal sosok wanita Jepang bernama Keiko yang bersuamikan orang Belanda. Sebelum tinggal Belanda ia pernah tinggal di Inggris. Seperti layaknya wanita Jepang, Keiko sangat santun. Bicara dengannya sangat menyenangkan. Dia cerita, bahwa cuaca di Belanda ini membuatnya depresi. Karena 4 bulan cuaca enak, lalu yang 8 bulan cuaca gak bagus dan itu membuatnya depresi. Saat ini dia sudah tinggal di Belanda selama puluhan tahun. Dulu, katanya pertama kali ke Belanda...dia merasa senang. "karena saya kan masih muda, tapi sekarang 'mata' saya berubah. Saya merasa gak bahagia," katanya. "Dua kaki saya seperti berjalan tak seiring yang satu menapak di Belanda sedang yang satu lagi di Jepang. Lama-lama saya capek makanya suatu hari nanti saya mau pindah dari sini," katanya. Keiko berubuh kecil dengan rambut pendek. "Dulu rambut saya panjang dan suka dikelabang. Orang menyangka saya orang Indian dari Amerika Selatan. ....hehehe." katanya sambil tertawa. Kalau dilihat-lihat Keiko memang seperti orang Indian. Keiko mempelajari reiki untuk mengobati diri sendiri. Sejak dia belajar reiki katanya intuisinya jadi makin tajam.
Oh iya, di sini aku juga bertemu dengan orang Indonesia berdarah Ambon, namanya Paul, yang baru saja menikah dengan wanita asal Indonesia. Istrinya seorang dokter gigi. Paul sebelum menikah dengan Sisca, nama istri barunya, telah memiliki 2 orang anak dari istri pertamanya yang sudah meninggal. Sisca sangat peduli dengan masalah pendidikan. Di Belanda yang kata Sisca, disiplinnya kurang bagus. "Bayangin, anak berangkat sekolah lalu gak lama kemudian sudah pulang, karena gurunya tidak masuk. Jadi setiap hari kita harus buka email untuk menge-cek apakah hari itu ada pelajaran tau tidak. Karena guru bisa aja tiba-tiba tidak bisa masuk mengajar," katanya. Wah ini aku juga baru tahu. "Belum lagi kalau ada tes atau ujian. Anak udah belajar, tiba-tiba besoknya si guru gak masuk. Tes ditunda. Duh ini aneh banget. Kalau di Indonesia yang namanya anak ujian itu kan udah ada jadwalnya,"kata Sisca lagi.Dia juga cerita tentang tes bahasa Belanda. Bagaimana pemerintah Belanda memberikan subsidi untuk mereka (pendatang) yang tinggal di Belanda untuk mempelajari bahasa Belanda.Tanpa terasa waktu udah jam12 malam. Kita pun pulang dengan menggenjot sepeda. Udara di luar dingin dan gerimis.
Langganan:
Postingan (Atom)